Rabu, 02 Mei 2012

JANGAN PERGI

by : Bombaystic
Intro : G Em C D   2x

G                Em
Dimalam ini aku sendiri
C                                   D
Hanya berteman dengan suasana sepi
G                           Em
Sejak engkau pergi hati terasa sunyi
C                            D
Hanya melamunkan wajahmu kekasih

###
C                 G
Mungkinkah kau tak kembali
Em        D
Disisi ku

Reff :

G             Em               C
Jangan pergi tetaplah disini
             D
Bersamaku
G             Em                   C
Jangan pergi ku tak bisa hidup
          D
Tanpamu

Intro : G Em C D

G                     Em
Sebisa mungkin pejamkan mata
C                         D
Untuk melupakan dirimu disana
G                      Em
Tapi ku tak bisa melupakan
C                              D
Karena hanya kaulah intan di jiwa

Kembali ke ###

Jumat, 27 April 2012

LEMBUSWANA



Asal Mula Kata Kutai


Kerajaan Kutai yang berdiri tahun 1320 tidak akan pernah tertulis dalam catatan sejarah, seandainya dahulu tidak ada seorang Raja Kutai Lama "Aji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa ing Martapura" (1730-1732) dan mungkin pula kata "Kutai" tidak pernah ada, andaikan jauh sebelum itu tidak ada sebuah kapal Cina yang terdampar ke sana. Mereka singgah untuk menjahit layar yang dirobek-robek badai. Sampai-sampai gunung disitu dinamakan Gunung Jahitan Layar.


Laksamana Chen Pie yang memimpin ekspedisi pelayaran, merasa kapalnya telah berada jauh dari muara, lalu menyebut tempat yang disinggahinya dengan nama "Kho Thei" atau tempat yang jauh di pedalaman. Kata ini berproses dari mulut ke mulut, untuk kemudian lidah rakyat setempat lebih pas mengucapkannya dengan kata Kutai. Dari sinilah cikal bakal Kutai yang kita kenal.

Asal Mula Festival Erau di Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara


Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Pada mulanya, kota Tenggarong merupakan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun, oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Kemudian dalam perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini. Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer yaitu Asal-Mula Erau. Cerita legenda ini mengambil latar belakang cerita di masa Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (abad ke-13 M.) yang berdiri di Tepian Batu atau Kutai Lama. Cerita legenda ini terpusat pada kisah seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang memiliki wajah sangat tampan, sehat dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan suku-bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturunan Dewa, ia tidak boleh diperlakukan seperti halnya seorang anak manusia biasa. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Dewa Sakti yang dikenal dengan Erau.
Alkisah, di lereng sebuah gunung di daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Namun demikian, suami-istri itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk memohon pada Dewata agar diberi keturunan.Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. “Pak, coba lihat apa yang terjadi di luar,” kata sang istri.

Dengan memberanikan diri Petinggi Dusun Jaitan Layar keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.

Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata, “Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa.”

Kemudian Dewa itu berpesan kepada Petinggi Jaitan Layar, ”Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan.”

Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi, “Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi di sungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah.”

Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa. “Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,” kata sang Petinggi sambil menyembah.

Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapa pun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.

Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan, “Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya”.

Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami-istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa itu telah mendapatkan air susu.

Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk dusun Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagat sebanyak tujuh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah.

Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Dusun Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Upacara Erau berlangsung sangat meriah selama empat puluh hari empat puluh malam. Sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembeli bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.

Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberinya pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.

Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.
Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.

Para undangan dari berbagai negeri dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata, “Tiada siapa pun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan.” Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-sehari.

Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti dianggap sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.

Setelah menjadi raja, Aji Batara Agun Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari Kahyangan. Awalnya, ia adalah ulat kecil yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah kampung Melanti dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.

Waktu terus berlalu. Ulat kecil itu tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang Putri berkata, “Ayah dan Bunda tidak usah takut kepada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah”. Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada Istrinya, Babu Jaruma.

Keesokan harinya, sang Petinggi pun sibuk membuat tangga dari kayu lampong. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang Putri yang menemuinya dalam mimpi. “Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda mengikuti ananda ke mana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menaburi ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.” Sang Naga pun kemudian menuruni tangga, lalu merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.

Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.

Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air Sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena ditumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu. “Lihat Pak! Sepertinya benda itu seorang bayi,” seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.

Sang Petinggi dan istrinya merawat bayi itu dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali mendapatkan anak dari Kahyangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu. Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan itu diberi nama Putri Karang Melenu.

Waktu terus berjalan, Putri Karang Melanu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi, dan pintar. Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.

Demikianlah kisah perjalanan hidup Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan permaisurinya Putri Karang Melanu mulai kecil hingga akhirnya mereka menikah. Sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai Kartanegara, Erau diadakan pada setiap pergantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Untuk mengenang kembali peristiwa kehadiran Putri Karang Melanu, diadakan pula upacara Mengulur Naga. Upacara ini merupakan puncak acara pada Erau yang hampir setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain Mengulur Naga, masyarakat Kutai Kartanegara mengenang Putri Karang Melanu dengan membangun sebuah gedung pertunjukkan pada tahun 2003 yang diberi nama Putri Karang Melanu.

Pada masa kerajaan Kutai Kartanegara, Erau diselenggarakan oleh kerabat istana dengan mengundang pemuka masyarakat yang setia kepada raja. Waktu penyelenggaraan Festival Erau tergantung pada kemampuan kerajaan, minimal tujuh hari delapan malam dan maksimal empat puluh hari empat puluh malam. Namun, sejak masa kerajaan Kutai Kartanegara berakhir tahun 1960, pelaksanaan Erau sempat mandek selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1971, Erau (yang kemudian populer dengan sebutan Festival Erau) ini kembali dilaksanakan atas prakarsa Bupati Kutai, Achmad Dahlan, dengan merangkaikan perayaan hari jadi Kota Tenggarong. Sejak itulah, Festival Erau menjadi agenda rutin pemerintah Kutai Kartanegara dalam rangka memperingati hari jadi Kota Tenggarong. Oleh karena itu, setiap perayaan hari jadi Kota Tenggarong selalu dirangkaikan dengan Festival Erau dan berbagai festival lainnya. Pada tanggal 28 September 2003, perayaan hari jadi Kota Tenggarong ke-221 dirangkaian dengan penyelenggaraan Festival Erau dan Zapin International Festival.

Dalam Festival Erau, berbagai macam seni dan olahraga tradisional yang mereka tampilkan, di antaranya Menjamu Benua, Merangin Malam, Mendirikan Tiang Ayu, Upacara Penabalan, Pelas (Pagelaran Kesenian Keraton Kutai Kartanegara), Seluak Mudik, Mengulur Naga, dan diakhiri dengan Belibur. Selain itu, dalam festival itu juga ditampilkan berbagai kesenian Dayak seperti Papaer Maper, Kuangkay, Mumutn, Ngayau, Lemakan Balei, Uman Undad, Pasek Truit, Erau Anak (Penhos). Tak ketinggalan pula keseniaan daerah pesisir (kesenian Melayu) seperti Tarsul dan Badendang. Untuk lebih meramaikan Festival Erau, biasanya diadakan penyalaan kembang api raksasa di Pulau Kumala pada malam hari. Ratusan ribu orang menyaksikan indahnya warna-warni menghiasi langit dari tepian Sungai Mahakam.

Saat ini, penyelenggaraan Festival Erau oleh masyarakat Tenggarong tidak sekedar untuk melestarikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, akan tetapi juga untuk memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantanBupati Kutai Kartanegera, Syaukani, Festival Erau merupakan wujud rasa syukur masyarakat Kutai Kartanegara dan pemerintah daerah dalam melakukan kegiatan pembangunan. Pelaksanaan Erau diharapkan dapat menjadi upaya positif untuk menjual dan memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Festival Erau selalu dinanti-nanti oleh masyarakat Kutai Kartanegara setiap tahun, karena memang sudah masuk dalam kalender wisata nasional. Festival Erau ini merupakan sebuah peristiwa yang telah menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia.

NB : Erau berasal bahasa Kutai eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Dalam pengertian yang paling sederhana, erau atau eroh adalah pesta yang diselenggerakan oleh sekelompok orang dengan berbagai kegiatan yang mempunyai maksud dan mengandung makna, baik bersifat sakral, ritual maupun hiburan.

Rabu, 25 April 2012

Sejarah Munculnya Haji Bawakaraeng


Sejak dahulu kala rutinitas ritual haji ke Gunung Bawakaraeng telah ada dalam tradisi masyarakat di Sulawesi Selatan. Tradisi ini telah ada bersamaan dengan dikenalnya persoalan ketuhanan dan agama di Sulawesi Selatan. Namun karena tradisi ini berbeda dengan tradisi haji yang sering dilakukan oleh umat Islam pada umumnya yaitu ke Mekah, maka dalam perjalanannya tradisi ini senantiasa mengalami banyak rintangan. Penganut tradisi haji Bawakaraeng ini terkadang dihujat sebagai musyrik bahkan murtad. Pengikutnya ada yang ditangkap dibawa ke kodim dan dianggap sebagai penganjur tarekat yang menyesatkan. Pada tahun 60-an, tradisi ini dilarang total oleh DI/TII, siapa saja yang kedapatan ke Bawakaraeng dalam rangka acara ritual tertentu atau sekedar ziarah akan ditangkap, bahkan beberapa di antaranya dihukum mati. Dari hasil wawancara dan pengamatan penulis terhadap beberapa penganut paham ini, serta beberapa tokoh masyarakat yang berkompeten mengetahuinya, maka dapat diamati beberapa faktor yang menyebabkan munculnya Haji Bawakaraeng:

1. Pengaruh Cerita Mitos Tentang Syekh Yusuf
Mitos merupakan hal yang selama ini dianggap kumpulan cerita irrasional dan komikal. Mitos yang lahir dalam kebudayaan primitif maupun dalam zaman modern ini sama-sama mengikuti hukum-hukum perkembangan. Mitos lahir dari penggabungan ide-ide yang logis (Pals, 2006: 40). Sebuah mitos dapat menghubungkan peristiwaperistiwa khayalan dengan kisah hidup seorang tokoh, mitos dapat jadi berkembang secara logis di luar permainan kata, dan memberikan pengaruh yang berkelanjutan pada masyarakat yang percaya terhadap tokoh legenda. Dari karakter mitos-mitos seperti inilah yang menjadi faktor dalam menganalisa kepercayaan Bawakaraeng. 

Menurut keterangan Daeng Jarre;

Sabanarna katte jappa ri Bawakaraeng, nasaba pamminawanganna Tuanta Salamaka Yusuf naniboya barakka’na, anjo Yusuf battupi ri Bawakaraeng nampa lampa ri Makka. 

bahwa apa yang mereka lakukan ke Gunung Bawakaraeng itu, adalah semata-mata sebagai “peminawangan” yakni ikutan pada tuanta Salamaka atau Syekh Yusuf untuk mendapatkan berkahnya, sebab Yusuf ke Bawakaraeng terlebih dahulu sebelum berangkat ke Mekah.

Pada dasarnya penganut paham ini merasa kagum terhadap kehebatan Syekh Yusuf melalui cerita mitologi yang turun-temurun berkembang di tengah masyarakat, sehingga mereka meyakini kebenarannya hingga sekarang dengan mempraktikkan ajaran Syekh Yusuf di Puncak Gunung Bawakaraeng. Mereka yakin bahwa di tempat inilah Syekh Yusuf, wali penyebar Islam di Sulawesi Selatan tinggal bersemayam. Karena itu para pengunjung Gunung Bawakaraeng mendatangi mihrab Syekh Yusuf, karena ketidakmampuan mereka berhaji ke Mekah seperti yang dilakukan oleh Syekh Yusuf. Konon menurut kepercayaan mereka, Syekh Yusuf telah mewakili haji mereka yang sesungguhnya, asalkan ingin berhaji ke Gunung Bawakaraeng.


2. Keinginan Berhaji dan Sulitnya Sistem Haji
Haji merupakan salah satu rukun Islam. Sebagai bagian dari ajaran Islam, mekanisme pelaksanaan haji membutuhkan segala bentuk kemampuan yang berkaitan dengan materil dan non materil, kesiapan mental, kesadaran diri, semangat keagamaan, ketulusan hati, perjuangan, dan pengorbanan (Putuhena, 2007: V). Umumnya, seorang bersedia melakukan apa saja demi melaksanakan ibadah ini. Bahkan tidak jarang seseorang rela menjual aset berharganya misalnya; sawah, tanah, kendaraan, perhiasan, dan aset lainnya demi untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Mereka dengan tulus dan ikhlas menunaikan haji yang ritualnya menyerupai rekonstruksi perjalanan para nabi Allah itu. Mereka tidak peduli, apakah setelah kembali mereka masih punya cukup aset untuk menyambung hidup lagi, asalkan sudah pernah menengok kota nabi itu.

Konon seseorang bahkan rela berhutang untuk menutupi ongkos naik haji yang sekarang besarannya sekitar Rp 35 juta. Juga tidak jarang terjadi di masyarakat Bugis- Makassar, orang tua membawa anak-anaknya berangkat haji, bahkan meski si anak belum cukup umur. Dengan asumsi bahwa anak-anak yang semuanya sudah bergelar haji, status sosial keluarga itu akan sangat terhormat dalam masyarakatnya, bahkan mendapattempat yang istimewa dalam acara-acara tertentu, misalnya pernikahan, kelahiran dan lain sebagainya. Dengan keinginan yang kuat tersebut, sehingga sebahagian masyarakat Bugis-Makassar khususnya penganut kepercayaan haji Bawakaraeng mencari cara lain yang ditempuh untuk mendapatkan kehormatan ini, misalnya dengan menciptakan ritual tandingan berhaji di puncak Gunung Bawakaraeng oleh sebagian orang Bugi-Makassar, yang didasarkan pada anggapan bahwa pahala dan keafdhalannya dianggap sepadan dengan prosesi yang dilakukan di Mekah dan Medinah. munculnya Haji Bawakaraeng tidak lepas dari semangat mereka yang ingin menunaikan rukun Islam yang ke lima itu. Di samping itu, sulitnya sistem dan prosedur pelaksananaan ibadah haji yang dikelurakan oleh pemerintah Indonesia, sehingga sebagian kalangan mengambil jalan pintas dalam pelaksanaan ibadah haji ini.

Berdasar pula pada kisah seorang tukang jahit sepatu Ali al- Muwaffaq yang tidak sempat menunaikan haji ke Mekah karena memberi pertolongan kepada tetangganya yang butuh bantuan, dan Sufi Rabiatul Adawiyah yang tidak melakukan haji di Mekah, tetapi pahala haji mereka diterima di sisi Allah SWT. Inilah yang membuat mereka tertarik dan dijadikan tolok ukur. Oleh karena menunaikan ibadah haji di Mekah memerlukan fisik yang kuat dan perjalanan berat, maka mereka menganalogikan suatu tempat yang mulia
yang memerlukan juga suatu perjalanan yang agak berat dan mereka memilih tempatnya
yaitu Gunung Bawakaraeng.


3. Pengaruh Agama Primitif
E.B Tylor mendefinisikan agama sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. Definisi ini dapat diterima dan memiliki kelebihan tersendiri, karena sederhana, gamblang dan memiliki cakupan luas. Lebih jauh Tylor mengemukakan bahwa kita dapat menemukan kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, namun satu-satunya karakteristik yang dimiliki setiap agama, besar maupun kecil, agama purba maupun modern, adalah keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berperilaku seperti manusia (Pals, 2006: 41). Inilah asal-usul agama dalam pengertian Tylor dalam teorinya tentang primitive culture dan primitive religion.

Berangkat dari asumsi tersebut, agama primitif masih nampak mempengaruhi kepercayaan masyarakat modern pada saat ini. Termasuk masayarakat di Sulawesi Selatan, walaupun Islam telah masuk di wilayah ini sekitar abad ke-17, tetapi masih ada sebahagian praktik kepercayaan masyarakat di daerah ini yang percaya terhadap roh-roh leluhur (animisme). Ada beberapa kelompok penduduk Bugis-Makassar yang walaupun mengaku penganut agama Islam, akan tetapi pada inti kepercayaannya terdapat konsepkonsep kepercayaan leluhur, seperti kepercayaan Tolotang di Sidenreng Rappang yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Uwa’, dengan konsep dewa tertinggi yang disebut To-Palanroe (Hasse, 2005). Masih terdapat konsep kepercayaan mereka merupakan sisa-sisa kepercayaan pada masa Lagaligo, yaitu zaman pemerintahan rajaraja Bugis-Makassar yang tertua.


4. Pengaruh Aliran Tarekat
Aliran tarekat dalam pemahamannya selalu disandarkan pada ajaran tasawuf, yang merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam. Ajaran tasawuf ini mengutamakan kebersihan dan kesucian batin, yang diperlukan untuk sampai pada kebenaran Ilahi, sebagai kebenaran mutlak. Paham tasawuf ini nampak diilhami oleh cara yang ditempuh Nabi Muhammad melakukan khalwat di Gua Hira sebelum menerima wahyu Tuhan. Setelah berkhalwat selama beberapa waktu Nabi Muhammad mencapai kesucian lahir batin, dan ketika itulah datang malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada beliau (Djamas, 1983: 74). Dari kejadian itulah muncul berbagai macam ajaran tasawuf yang dalam pahamnya terwujud ke dalam berbagai aliran tarekat. Di Gunung Bawakaraeng yang berada sebagian besar dalam wilayah kecamatan Tinggi Moncong kabupaten Gowa, terdapat suatu aliran tarekat yang bernama “Barakka Bontolebang dan Barakka Balasuka”.

Di sini dapat dilihat, tradisi naik ke Bawakaraeng bukan hanya dipengaruhi oleh cerita mitos dan agama primitif. Ini dapat terlihat adanya masyarakat dari kalangan Islam yang memahami ajaran tarekat yaitu; Barakka Bontolebang dan Barakka Balasuka yang merupakan salah satu bentuk tarekat yang inti ajarannya sudah banyak diselenggarakan dari aqidah Islam.


Sekalipun sebagian besar penganut paham ini mengingkari adanya hubungan dengan pengunjung Haji Bawakaraeng, namun yang jelas dapat diketahui bahwa ajaran ini diterima di Gunung Bawakaraeng melalui wali, sehingga tidaklah diherankan bilamana sebagian masyarakat penganut paham ini dapat bertambah yakin atas kemuliaan dan kehebatan Gunung Bawakaraeng dan mereka berusaha untuk senantiasa mengunjungi Gunung Bawakaraeng untuk mendapatkan berkah dan sekaligus melakukan semacam ibadah haji bilamana bertepatan pada raya Idul Adha.